Catatan Perjalanan :
Dari New
Orleans Ke Kendal
4.
Jika Ingin Menilpun Dari Pesawat
Sepanjang
perjalanan terbang menyeberangi Samudra Pasifik yang 16 jam itu
saya tidak bisa tidur dengan enak. Setiap saat pikiran saya
melayang ke rumah saya di Kendal, membayangkan persiapan
pemakaman ibu saya yang dijadwalkan hari Senin pagi jam 10:00
WIB. Hampir setiap jam otak saya bermatematika : kira-kira di
Kendal sedang jam berapa. Hitungan matematika menjadi mudah
lantaran di layar monitor yang ada di pesawat selalu ditayangkan
petunjuk waktu saat itu (saat posisi pesawat berada, saat di
Dallas dan saat di Tokyo). Sehingga saya tinggal menambahkan beda
waktu antara tempat-tempat tersebut dengan WIB.
Di tengah-tengah
Samudra Pasifik (lagi-lagi saya lihat posisi pesawat di layar
monitor), pada saat yang saya perkirakan di Kendal sudah
menunjukkan hari Senin jam 09:00 pagi, saya berniat menilpun
bapak saya dari pesawat. Saya hanya ingin memastikan bahwa
persiapan pemakaman ibu saya berlangsung lancar dan sudah benar
tata caranya sebagai mayat seorang muslim. Meskipun sebenarnya di
dalam hati saya sudah yakin akan hal itu, tetapi ada dorongan
kuat untuk berbicara langsung dengan bapak dan adik-adik saya di
Kendal.
Saya tatap terus gagang tilpun di depan saya. Saya buka berkali-kali majalah di kantong kursi pesawat yang memuat petunjuk cara penggunaan tilpun di pesawat. Lagi-lagi sambil saya bermatematika : kira-kira berapa biayanya. Kartu kredit saya siapkan. Tata cara penggunaan tilpun saya baca berulang-ulang hingga saya yakin hapal di luar kepala (seolah-olah sudah terbiasa menggunakannya).
Saya pahami benar bahwa biaya tilpun dari atas Samudra Pasifik adalah US$ 10.00 per menit. Artinya kalau saya bicara 10 menit, saya akan kena tagihan dari kartu kredit minimal US$ 100.00 plus pajak.
Maka, gagang
tilpun segera saya angkat, saya gesekkan kartu kredit, lalu saya
ikuti instruksi di layar kecil di gagang tilpun sesuai dengan
prosedur yang sudah saya hapal, dan ternyata memang langsung
.. kring, di Kendal sana (saya sedemikian percaya
diri, bahwa seandainya penumpang di sebelah saya memperhatikan
tingkah saya, pasti dia akan berpikir bahwa saya tidak ndeso.
Wong sudah saya hapalkan tata caranya).
Pembicaraan dengan bapak dan adik saya
ternyata lebih singkat dari yang saya rencanakan sebelumnya.
Bukan mau irit, tapi lebih karena tidak tahu lagi apa yang mau
diomongkan banyak-banyak. Yang paling pokok, saya sudah dapat
kepastian bahwa jenazah almarhum ibu saya sudah diperlakukan
sebagaimana mestinya mayat seorang muslim, dan sesaat lagi siap
diberangkatkan ke pemakaman (saat itu sudah menjelang jam 10:00
pagi di Kendal). Mak plong
.., rasanya.-
(Bersambung)
Yusuf Iskandar